Terungkap Penyebab 13 Kali Yogyakarta Diguncang Gempa

{getMailchimp} $title={MailChimp Form} $text={Subscribe to our mailing list to get the new updates.}

Terungkap Penyebab 13 Kali Yogyakarta Diguncang Gempa

Minggu, 02 Juli 2023, 6:32:00 PM


Jogyakarta|JejakKASUS- Gempa berkekuatan 6,4 Skala Richter (SR) telah mengguncang wilayah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Jumat (30/6/2023) pada pukul 19:57:43 WIB.


Gempa di wilayah Yogyakarta ini bukan pertama kalinya terjadi. Telah 13 kali Yogyakarta mengalami bencana gempa bumi merusak. Data gempa pertama yang ditemukan terjadi pada 1840, disusul kemudian 1859, 1867, 1875, 1937, 1943, 1957, 1981, 1992, 2001, 2004, 2006 dan tahun ini 2023.


Yogyakarta secara tektonik merupakan kawasan dengan tingkat aktivitas kegempaan cukup tinggi. Kondisi ini disebabkan wilayah tersebut berdekatan dengan zona tumbukan lempeng di Samudera Indonesia. Di samping itu, Yogyakarta rawan gempa bumi akibat aktivitas sesar-sesar lokal di daratan. Kondisi tektonik semacam ini menjadikan Yogyakarta sebagai kawasan seismik aktif dan kompleks.


Indonesia merupakan salah satu wilayah paling aktif secara seismik di dunia, dengan pergerakan lempeng berkecepatan tinggi di Palung Sunda (hingga 60 mm (2,4 in) per tahun), dan ancaman yang cukup besar dari gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami di seluruh pulau Jawa, salah satu dari lima pulau terbesar di Indonesia, terletak di Paparan Sunda di sebelah utara Palung Sunda, yang merupakan batas lempeng konvergen tempat Lempeng Indo-Australia bersubduksi di bawah Lempeng Eurasia.


Zona subduksi lepas pantai Jawa dicirikan oleh zona Benioff yang menunjam ke utara, sering terjadi gempa bumi dan aktivitas vulkanik yang memengaruhi geografi regional, dan transfer tekanan langsung atau tidak langsung yang memengaruhi berbagai patahan darat. Sedimentasi berkaitan erat dengan tektonik, dan sementara volume sedimen lepas pantai di parit berkurang dengan jarak dari Delta Gangga-Brahmaputra di Teluk Benggala, akrual sedimen darat dekat Daerah Istimewa Yogyakarta telah dibentuk oleh peristiwa tektonik.


Yogyakarta yang lekat dengan predikat sebagai daerah rawan gempa tidak menggoyahkan peran strategisnya sebagai penyangga peradaban Jawa hingga Republik Indonesia. Bukti sejarah menunjukkan dengan adanya prasasti semegah Candi Prambanan, Candi Ratu Boko, dan rangkaian candi lainnya yang dibangun sejak masa Mataram Kuno pada abad ke-8 Masehi. Perjalanan Yogyakarta juga sering difungsikan sebagai pusat pemerintahan, dari zaman Mataram Kuno, Mataram Islam, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, bahkan pernah dijadikan Ibu Kota Republik Indonesia.


Yogyakarta memiliki keistimewaan budaya yang menjadi kiblat tradisi Jawa. Selain itu, bumi Yogyakarta juga menyimpan segudang keistimewaan, bahkan dalam level dunia. Sebut misalnya Gunung Merapi, Kawasan Karst Gunungkidul, Gumuk Pasir di Pantai Selatan. Merapi adalah satu-satunya gunungapi jenis strato paling aktif di dunia. Fenomena awan panas atau dikenal dengan 'wedhus gembel' juga tak ada duanya di dunia. Karst Gunungkidul dengan segala kekayaan dan karakteristik ekosistem didalamnya telah masuk salah satu warisan dunia. Gumuk pasir, khususnya tipe barchan juga hanya ada di Pantai Selatan Yogyakarta.


Bencana yang terus mengintai dapat menjadi ancaman jika sejarah tidak dipahami dan tidak ada antisipasi. Bumi Yogyakarta juga tidak akan lagi istimewa jika karakteristik khasnya hilang. Untuk itu, perlu upaya mitigasi bencana dan konservasi bumi. Kunci mitigasi dan konservasi adalah partisipasi. Partisipasi akan berjalan jika muncul kesadaran yang didasari pemahaman utuh dari semua kalangan.


Berdasarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ada beberapa partisipasi yang harus dilakukan ketika terjadi bencana. Pertama, masyarakat perlu diberi informasi memadai dan dididik tentang potensi kebencanaan dan fenomena kebumian di lingkungannya. Arahannya agar masyarakat bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan serta menjamin keberlanjutan fungsinya.


Kedua, pemerintah mesti memperhatikan kebendanaan dan kebumian yang ada dengan program-program riil dalam rangka mitigasi dan konservasi.


Ketiga, pendidikan kebencanaan dan kebumian mesti digencarkan secara formal maupun non formal. Kurikulum pendidikan mesti mengakomodasi pendidikan kebumian yang komprehensif. Hal ini dimaskudkan guna mengenalkan pada generasi muda yang akan mewarisi keistimewaan bumi.


Keempat, perlu dukungan politis dalam upaya pelestarian keistimewaan bumi Yogyakarta. Butuh komitmen pemimpin, butuh aturan yang memadai, dan butuh fasilitasi yang mencukupi. Semua pihak dan semua sarana mesti melek bumi guna menjamin bertahannya Keistimewaan Bumi Yogyakarta.


Mitigasi dan konservasi membutuhkan aturan yang memadai dan fasilitasi yang mencukupi. Benda-benda cagar budaya telah memiliki payung hukum yang melindunginya. Ke depan perlu menetapkan kebijakan perlindungan pula terhadap obyek cagar ekologis. Peraturan daerah keistimewaan (Perdais) yang diamanatkan UU No 13 Tahun 2012 menjadi wadah hukum yang tepat untuk mengaturnya.


Semua pihak dan semua sarana mesti melek bencana dan melek bumi guna menjamin lestarinya Keistimewaan Bumi Yogyakarta. Keemasan era Kerajaan Mataram bukan tidak mungkin dapat terulang jika keistimewaan bumi Yogyakarta benar-benar dilestarikan.(Fujiyanto)

TerPopuler