UNGARAN|JejakKASUS-Rawa Pening merupakan destinasi wisata di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah (Jateng) yang tidak hanya indah, tetapi juga memiliki misteri tersendiri. Simak legenda Baru Klinting yang menjadi sejarah di balik terbentuknya Rawa Pening berikut ini.
Jateng memiliki danau eksotis yang memiliki panorama indah bernama Rawa Pening. Tempat wisata di Kabupaten Semarang ini menempati empat wilayah kecamatan, yakni Bawen, Ambarawa, Tuntang, dan Banyubiru.
Di balik keindahannya, Rawa Pening memiliki legenda yang diceritakan masyarakat setempat secara turun temurun. Legenda tersebut mengisahkan seorang anak bernama Baru Klinting yang dikucilkan oleh penduduk desa dan menyebabkan terjadinya banjir besar yang menenggelamkan sebuah desa.
Berikut legenda singkat Baru Klinting yang dikutip dari buku 'Legenda Rawa Pening' (2016) dan beberapa sumber.
Legenda Baru Klinting
Pada zaman dahulu terdapat sebuah desa yang makmur dan asri di tanah kekuasaan Kerajaan Mataram, yakni Desa Ngasem. Desa tersebut dipimpin oleh seorang kepala desa yang arif dan bijaksana bernama Ki Sela Gondang. Ia memiliki seorang istri dan seorang putri cantik bernama Endang Sawitri.
Karena sebuah kutukan, Endang Sawitri harus mengandung dan melahirkan seorang anak berwujud naga seorang diri. Anak naga tersebut kemudian diberi nama Baru Klinting oleh Endang Sawitri.
Ketika sudah menginjak umur anak-anak, Baru Klinting pun pergi ke Gunung Telomoyo untuk bertapa demi melepaskan diri dari kutukan sehingga dapat berubah wujud menjadi anak manusia pada umumnya. Ia bertapa dengan cara melilitkan tubuh naganya sampai ke puncak Gunung Telomoyo.
Malangnya, ada sekumpulan warga Desa Pathok yang tengah berburu tidak melihat wujud keseluruhan Baru Klinting. Mereka hanya melihat ekor Baru Klinting saja dan memotong-motong daging ekor Baru Klinting untuk dibawa pulang ke desa mereka.
Baru Klinting yang telah berhasil dalam pertapaannya dan berubah wujud menjadi seorang anak manusia pun mendatangi warga Pathok yang sedang mengadakan pesta rakyat. Baru Klinting meminta makanan kepada penduduk desa.
Namun, keadaan tubuhnya yang lusuh, penuh luka dan memiliki bau yang amis mengakibatkan penolakan warga dan malah mencaci-maki anak itu. Baru Klinting bergeming dan tetap memaksa meminta makanan dan minuman pada penduduk desa yang sedang berpesta tersebut.
Dengan menangis dan sakit hati yang teramat sangat, Baru Klinting pergi meninggalkan pesta. Ia berjalan sambil terus menangis hingga akhirnya tiba di sebuah gubuk yang dihuni seorang nenek tua bernama Nyai Latung.
Baru Klinting pun meminta minum kepada nenek tersebut. Melihat kondisi anak tersebut yang memprihatinkan, Nyai Latung merasa iba dan segera memberinya minum sekaligus makanan.
Setelah selesai makan dan minum, Baru Klinting pun kemudian pamit. Sebelum pergi, ia berpesan kepada Nyai Latung agar naik ke atas lesung ketika mendengar bunyi kentongan.
Baru Klinting kemudian kembali ke keramaian pesta dan Baru Klinting pun menantang warga mencabut sebatang lidi yang tertancap di tanah. Ajaibnya, tak seorang pun mampu mencabutnya, bahkan orang dewasa yang paling kekar sekalipun. Hanya Baru Klinting yang berhasil mencabut lidi itu.
Lalu keajaiban pun terjadi, lubang bekas tancapan lidi tersebut menyemburkan air yang sangat deras. Semburan air makin lama makin deras dan menjadi air bah yang besar. Sontak kejadian itu membuat penduduk desa panik dan membunyikan kentongan sebagai tengara bahaya.
Air bah mulai menggenangi Desa Pathok. Semua penduduk berlarian menyelamatkan diri. Di tempat lain, Nyai Latung mendengar bunyi kentongan dari kejauhan dan teringat pesan Baru Klinting untuk segera naik ke atas Lesung.
Dalam kebingungan, Nyai Latung kemudian menaiki Lesung dan dalam sekejap air bah telah menggenangi Desa Pathok. Dalam kondisi terapung-apung di lesung, Nyai Latung menyaksikan para tetangganya tenggelam.
Setelah beberapa lama, lesung Nyai Latung terbawa menepi sehingga ia dapat naik ke daratan. Ia baru menyadari bahwa hanya dirinyalah yang selamat dari banjir bandang tersebut.
Dalam termangu, ia memandangi air bah di hadapannya menjelma menjadi hamparan rawa. Akhirnya Nyai Latung memutuskan tinggal di pinggir rawa tersebut. Ia menamakan desa yang tenggelam itu dengan nama Rawa Pening yang berasal dari genangan air bening yang membentuk rawa.
Itulah legenda Baru Klinting yang menjadi kisah sejarah asal-usul Rawa Pening. (Fuji Yanto)